Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi.
Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (“unprovoked”).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam jenis epilepsi.2,4
Etiologi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.4,5
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%.5
Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi.5,6,7
Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan epilepsi.4,5,6
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama, ialah epilepsi idopatik, remote symptomatic epilepsy (RSE), epilepsi simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.1
Epidemiologi
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang memiliki otak dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan atau kurang tahan terhadap munculnya bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi cukup beragam: cedera otak, keracunan, stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1-2% dari populasi. Secara umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsi menunjukan pola bimodal: puncak insidensi terdapat pada golongan anak dan usia lanjut.7
Klasifikasi
Klasifikasi epilepsy berdasarkan ILAE 1981 adalah sebagai berikut:3,8
A. Epilepsi Parsial
1. Epilepsi parsial sederhana (tanpa hilangnya kesadaran)
• Epilepsi dengan gejala motorik atau sensorik atau dengan panca indera (seperti halusinasi, perasaan seperti dijalari listrik atau melihat cahaya berkedip)
• Epilepsi dengan gejala gangguan fungsi otonomik tubuh seperti wajah kemerahan, pucat, rasa tidak enak ulu hati, berkeringat.
• Epilepsi dengan gejala psikis seperti ilusi, halusinasi, keadaan seperti bermimpi (dreamy state)
2. Epilepsi Parsial Kompleks (dengan hilangnya kesadaran)
• Pada awalnya berupa epilepsi parsial sederhana tetapi diikuti dengan hilangnya kesadaran.
• Sejak awal serangan epilepsi telah disertai hilangnya kesadaran.
3. Epilepsi Umum Sekunder.
• Epilepsi parsial sederhana atau kompleks yang berkembang menjadi epilepsi umum.
B. Epilepsi Umum
1. Absensus (petit mal)
Jenis yang jarang, umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja. Penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai. Kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari.
2. Epilepsi miklonik
Biasanya tjd pada pagi hari, setelah bangun tidur. Pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal
3. Epiklepsi konik
4. Epilepsi tonik
5. Epilepsi atonik
6. Epilepsi tonik-klonik
C. Epilepsi yang tidak diklasifikasikan
Patogenesis
Sistem saraf merupakan communication network (jaringan komunikasi). Otak berkomunikasi dengan organ-organ tubuh yang lain melalui sel-sel saraf (neuron). Pada kondisi normal, impuls saraf dari otak secara elektrik akan dibawa neurotransmitter seperti GABA (gamma- aminobutiric acid) dan glutamat melalui sel-sel saraf (neuron) ke organ-organ tubuh yang lain. Faktor-faktor penyebab epilepsi di atas menggangu sistem ini, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan aliran listrik pada sel saraf dan menimbulkan kejang yang merupakan salah satu ciri epilepsi. Faktor mencetus epilepsi antara lain tekanan, kurang tidur, sensitif pada cahaya yang terang (fotosensitif), dan minum minuman keras.1
Patofisiologi
1. Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM. Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion (tabel 1). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions.
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion Na+ (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi pada kanal Na+ seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berulang kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron. Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi (depolarisasi-repolarisasi) pada sel neuron.
2. Patofisiologi Epilepsi Parsial
Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari korteks entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input inhibitori dari interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer molecular). Sel granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal.
Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke lapisan molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang aberant ini menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara membentuk sinaps pada dendrit sel granula dentatus sekelilingnya. Di samping itu interneuron eksitatori yang berada di gyrus dentatus berkurang (yang secara normal mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi hipereksitabilitas. 9
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di hippocampus. Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di daerah proliferatif gyrus dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula dentatus baru dan pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi. Teori patofisiologi yang lain adalah terjadi perubahan komposisi dan ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsy lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion zinc meningkat dan akhirnya menghambat mekanisme inhibisi. Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah terjadinya epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera di otak maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan menigkatkan aktivitas NMDA reseptor dan terjadi influx ion calsium yang berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron. 9
3. Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. 9
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebutsebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. 9
Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion- ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron. Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar. 9
Gejala Klinis
1. Epilepsi Umum
a. Major
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang- kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak focus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya. Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting- banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 – 3 menit. Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, reflek cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4 – 5 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali.10
b. Minor
Elipesi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 – 4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada anak sebelum pubertas (4 – 5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri, yaitu timbul pada usia 4 - 5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal, harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik, mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat, pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3 kali/detik. Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut. Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau sindroma West. Timbul pada bayi 3 - 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat. Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche. 10
2. Epilepsi parsial (20% dari seluruh kasus epilepsi).
a. Bangkitan sensorik
Bangkitan sensorik adalah bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang. 10
b.Epilepsi lobus temporalis.
Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik la-zimnya berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh. 10
Diagnosa dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis epilepsi didasarkan terutama pada anamnesa berikut aloanamnesa. Di samping itu, pemeriksaan klinis umum dan pemeriksaan neurologik umum dan khusus dapat menghasilkan data yang harus diintegrasikan dalam anamnesala-loanamnesa supaya diagnosis yang mantap dapat tercapai.11
1. Anamnesa/aloanamnesa
a. Fokalitas
Setiap aura yang dilaporkan penderita menunjuk kepada serangan epilepsi fokal. Serangan epileptik yang mengenai daerah tubuh setempat, baik yang bersifat motorik, sensorik, ataupun autonom harus diklasifikasikan sebagai serangan epilepsi fokal.
b. Riwayat keluarga
Adanya anggota keluarga yang epileptik atau penyakit-penyakit yang erat hubungannya dengan epilepsi.
c. Riwayat penyakit terdahulu
Infeksi serebral (ensefalitis, meningitis), riwayat stroke, ataupun trauma kapitis dan kontusio serebri dapat dihubungkan dengan terjadinya fokus epileptikus.
d. Riwayat kehamilan dan kelahiran
Adanya trauma lahir atau gangguan cerebral dalam masa intrauterin, seperti infeksi viral ataupun trauma abdominal dan keadaan-keadaan hipokalsemi yang dialami ibu selama masa kehamilan.
2. Pemeriksaan fisik dan neurologis
Memeriksa ada tidaknya kelainan pada organ-organ tubuh seperti hati dan limpa, ada tidaknya dehidrasi dan tanda infeksi serta ada tidaknya defisit neurologis atau kelainan neuropsikologis. 8,11
3. Pemeriksaan Elektroensefalografi
Pada epilepsi, fase tonik ditandai dengan bentuk spike yang beramplitudo tinggi dan berfrekuensi rendah dengan aktivitas yang cepat. Pada fase klonik, spike yang beramplitudo tinggi akan diselingi oleh wave yang lambat (sejalan dengan kontraksi dan relaksasi otot) membentuk spike and wave pattern. 12
Indikasi pemeriksaan elektroensefalografi pada pasien epilepsi adalah:
- Membantu menegakkan diagnosis
- Menentukan jenis serangan dan lokasi fokus
- Menentukan prognosis pada kasus-kasus tertentu
- Melacak fokus pada kasus-kasus yang klinis dicurigai epilepsi
- Menentukan fokus untuk tindakan operasi
4. Pencitraan struktural dan fungsional
Pencitraan dapat dilakukan dengan menggunakan CT-Scan atau MRI. 13
Indikasi pencitraan struktural dan fungsional pada pasien epilepsi adalah:
- Dilakukan pada semua kasus serangan pertama yang diduga memiliki kelainan struktural
- Terdapat defisit neurologis fokal
- Serangan pertama pada usia diatas 40 tahun
- “Intractable epilepsi” untuk persiapan operasi
- Epilepsi serangan parsial
Diagnosa Banding 14,15,16
PENYAKIT PERSAMAAN PERBEDAAN
1. Sinkope (pingsan) Tidak sadarkan diri, lemah Muka pucat, tek darah menurun, EEG normal
2. Histeria Terdapat bangkitan, ada suara sebelum bangkitan, refleks kornea negatif Muka tidak sianotik, gerakan tertentu, refleks kornea positif, EEG normal
3.Cataplexy
(tonus dan kekuatan otot yang menghilang mendadak) Lemah, kejang menyerupai atonik Dirangsang oleh emosi yang kuat, mengantuk yang lama
4. Migrain
(tipe nyeri kepala yang sangat sakit) Paresthesia, kebutaan sementara, sakit kepala Nyeri kepala yang sangat hebat, EEG normal, evolve in minute
5. Transient Ischemic Attack (TIA)
Episode sementara disfungsi serebral akibat gangguan aliran darah ke otak Lemah, paralisis sebelah badan, kebutaan sementara Gangguan darah ke otak, EEG normal
6. Mioklonus Nocturnal Benigna (gerakan terkejut tiba-tiba pada permulaan tidur) Pergerakan fleksi pada jari, persendian dan siku. Timbulnya selalu pada waktu malam, EEG normal
7. Hypoglycemia Lemah, sinkope Biasanya pada pasien diabetes
8. Panic attack Takut, sinkope Sakit dada, palpitasi, EEG normal
9. Transient Global Amnesia
(episode anterograde amnesia) Tidak kenal keadaan sekeliling Gejala tidak berulang, tidak bisa membuat memori baru
Tatalaksana
Setelah diagnosa ditetapkan maka tindakan terapeutik diselenggarakan. Semua orang yang menderita epilepsi, baik yang idiopatik maupun yang non-idiopatik, namun proses patologik yang mendasarinya tidak bersifat progresif aktif seperti tumor serebri, harus mendapat terapi medisinal. Obat pilihan utama untuk pemberantasan serangan epileptik jenis apapun, selain petit mal, adalah luminal atau phenytoin. Untuk menentukan dosis luminal harus diketahui umur penderita, jenis epilepsinya, frekuensi serangan dan bila sudah diobati dokter lain. Dosis obat yang sedang digunakan. Untuk anak-anak dosis luminal ialah 3-5 mg/kg/BB/hari, sedangkan orang dewasa tidak memerlukan dosis sebanyak itu. Orang dewasa memerlukan 60 sampai 120 mg/hari. Dosis phenytoin (Dilatin, Parke Davis) untuk anak-anak ialah 5 mg/kg/BB/hari dan untuk orang dewasa 5-15 mg/kg/BB/hari. Efek phenytoin 5 mg/kg/BB/hari (kira-kira 300 mg sehari) baru terlihat dalam lima hari. Maka bila efek langsung hendak dicapai dosis 15 mg/kg/BB/hari (kira-kira 800 mg/hari) harus dipergunakan.1
Efek antikonvulsan dapat dinilai pada ‘follow up’. Penderita dengan frekuensi serangan umum 3 kali seminggu jauh lebih mudah diobati dibanding dengan penderita yang mempunyai frekuensi 3 kali setahun. Pada kunjungan ‘follow up’ dapat dilaporkan hasil yang baik, yang buruk atau yang tidak dapat dinilai baik atau buruk oleh karena frekuensi serangan sebelum dan sewaktu menjalani terapi baru masih kira-kira sama. Bila frekuensinya berkurang secara banding, dosis yang sedang dipergunakan perlu dinaikan sedikit. Bila frekuensinay tetap, tetapi serangan epileptik dinilai oleh orangtua penderita atau penderita epileptik Jackson motorik/sensorik/’march’ sebagai ‘enteng’ atau ‘jauh lebih ringan’, maka dosis yang digunakan dapat dilanjutkan atau ditambah sedikit. Jika hasilnya buruk, dosis harus dinaikan atau ditambah dengan antikonvulsan lain. 1
Terapi pengobatan epilepsi
a. Obat pertama yang paling lazim dipergunakan: 1,8
(seperti: sodium valporat, Phenobarbital dan phenytoin)
Ini adalah anjuran bagi penderita epilepsi yang baru,
Obat-obat ini akan memberi efek samping seperti gusi bengkak, pusing, jerawat dan badan berbulu (Hirsutisma), bengkak biji kelenjardan osteomalakia.
b. Obat kedua yang lazim digunakan:
(seperti: lamotrigin, tiagabin, dan gabapetin)
Jika tidak terdapat perubahan kepala penderita setelah mengunakan obat pertama, obatnya akan di tambah dengan dengan obatan kedua.
Lamotrigin telah diluluskan sebagai obat pertama di Malaysia.
Obat baru yang diperkenalkan tidak dimiliki efek samping, terutama dalam hal kecacatan sewaktu kelahiran.
Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi
Menderita epilepsi mendatangkan beberapa resiko terhadap diri anda atau orang lain yang perlu anda antisipati, diantaranya: 17
- Jatuh, jika anda jatuh saat mendapat serangan epilepsi, anda mungkin akan melukai kepala anda atau menderita patah tulang.
- Tenggelam, jika anda menderita epilepsi, resiko tenggelam meningkat 15 kali lipat dibandingkan orang lain karena kemungkinan bangkitan epilepsi ketika berada di dalam air.
- Kecelakaan, epilepsi dapat menyebabkan anda kehilangan kesadaran atau kontrol selama berkendara atau mengoperasikan peralatan. Anda sebaiknya telah bebas dari epilepsi ketika anda mulai berkendara.
- Komplikasi pada masa kehamilan, bangkitan epilepsi selama masa kehamilan dapat membahayakan ibu dan anak. Beberapa jenis obat epilepsi juga meningkatan resiko cacat pada janin. Jika anda menderita epilepsi dan berkeinginan untuk hamil, berdiskusilah dengan dokter anda. Umumnya wanita dapat hamil dan melahirkan bayi yang sehat. Anda perlu berhati-hati dalam memonitor keadaan anda selama masa kehamilan dan mengatur pengobatan anda. Perencanaan yang benar dengan dokter anda mutlak diperlukan.
Kondisi-kondisi lain yang dapat membahayakan jiwa jarang terjadi, tetapi tetap mungkin terjadi adalah sebagai berikut: 17
- Status epilepticus. Kondisi ini terjadi dimana bangkitan epilepsi berlangsung lebih dari 5 menit atau beberapa bangkitan terjadi terus menerus tanpa ada masa sadar diantara bangkitan-bangkitan itu. Status epileptikus beresiko menyebabkan kerusakan otak permanen atau kematian.
- Sudden unexplained death in epilepsy (SUDEP). Tak diketahui penyebab jelas dari SUDEP. Hal ini umumnya terjadi pada penderita epilepsi yang bangkitannya tidak terkontrol. Resiko terhadap SUDEP lebih tinggi pada penderita epilepsi tonik-klonik (grand mal). Kurang dari 1 dari 1000 penderita epilepsi meninggal karena SUDEP.
Prognosis
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa angka risiko kekambuhan berkisar antara 16-81% setelah mengalami kejang non febris tunggal. Penelitian kekambuhan serangan lainnya yang berbasis populasi menunjukkan angka 56-81%. National General Practice Study of Epilepsy (NGSPE) melalui studi diskriptif prospektif melaporkan bahwa risiko terhadap kekambuhan setelah serangan mencapai 61% dalam 1 tahun dan 78% dalam 3 tahun berikutnya. 18
Banyak penelitian mendapatkan risiko yang lebih tinggi terhadap kekambuhan setelah mengalami serangan dengan penyebab yang jelas. Hauser mendapatkan 37% pasien mengalami serangan kedua setelah trauma kepala, dibandingkan 28% kasus idiopatik. Pada penelitian selanjutnya didapatkan bahwa pasien dengan kausa tumor atau stroke mengalami angka kekambuhan 77% setelah 55 tahun dibandingkan 45% serangan idiopatik. 18
Beberapa faktor prediksi tingginya angka kekambuhan setelah mengalami serangan afebril pertama adalah: 18
1. Defisit neurologis sewaktu lahir
2. Usia < 16 tahun atau > 65 tahun
3. Serangan parsial
4. Latar belakang lesi struktural
Dari penelitian prospektif terhadap pasien stroke, didapatkan hasil bahwa lesi di kortikal dan jenis hemoragik mempunyai hubungan positif yang kuat timbulnya serangan. Tidak satupun dari kasus serangan yang muncul saat awal stroke berkembang menjadi serangan ulang atau epilepsi, namun 50% serangan yang muncul setelah berselang lama dari onset stroke berkembang menjadi epilepsi. Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa serangan yang muncul awal dari onset stroke cukup banyak tapi tidak berdampak pada out come serta tidak berulang meski tidak diobati dengan anti epilepsi. 18