Selama ini, pedofilia didiagnosis dengan metode phallometri, yaitu 
melihat perubahan phallus atau penis saat melihat foto anak-anak 
telanjang. Metode ini efektif, tetapi butuh waktu lama dan biasanya baru
 ketahuan bertahun-tahun setelah banyak korban berjatuhan.
Kini para ilmuwan menggunakan metode scan otak fungsional Magnetic Resonance Imaging
 (fMRI) untuk mendeteksi kecenderungan pedofilia atau ketertarikan 
seksual terhadap anak di bawah umur. Deteksi dengan metode ini diklaim 
akan lebih akurat.
Seperti dilansir Los Angeles Times, 
Senin (10/10/2011), penelitian ini menjelaskan penggunaan fMRI untuk 
memetakan pola aktivasi otak pada 24 orang yang mengaku pedofil. Sebagai
 pembanding, ilmuwan juga mengamati 32 orang relawan pria dengan usia 
dan tingkat kecerdasan yang sama.
Di antara para pedofil, 11 
orang mengaku tertarik pada gadis-gadis praremaja, dan 13 orang lainnya 
adalah homoseksual. Kelompok relawan terdiri dari 2 kelompok, yakni 18 
pria yang tertarik pada wanita dewasa dan 14 pria yang tertarik pada 
pria dewasa.
Sambil dipindai otaknya, para partisipan diminta 
melihat 490 foto yang disajikan secara acak, masing-masing selama 
sedetik. Di antara foto-foto itu, terdapat 280 foto anak-anak dan orang 
dewasa laki-laki maupun perempuan, masing-masing ada yang menampilkan 
seluruh tubuh, alat kelamin saja, atau wajah saja.
Pola aktivasi 
di beberapa daerah otak yang memproses rangsangan dan gairah seksual 
berbeda pada empat kelompok. Hanya kelompok pedofilia heteroseksual saja
 yang gagal menunjukkan pola yang berbeda ketika ditunjukkan gambar 
wanita dewasa dan anak-anak perempuan, tapi otaknya merespons foto 
anak-anak perempuan secara berbeda dengan kelompok heteroseksual yang 
bukan pedofil.
Para peneliti, dari Kiel dan Berlin di Jerman dan 
Hvidovre, Denmark, mengatakan pengamatan pola fungsi saraf untuk 
mendeteksi pedofilia baru kali ini dilakukan. Meski efektif, metode ini 
juga punya keterbatasan yakni kurang sensitif, dalam arti tidak dapat 
mendeteksi semua jenis pedofil yakni pedofilia heteroseksual dan 
pedofilia homoseksual.
Meski begitu, penggunaan fMRI dikatakan 
jauh lebih spesifik dibanding phallometry. Artinya, lebih mungkin untuk 
mengidentifikasi manakah orang pedofil dan mana yang tidak dibandingkan 
phallometry.
Hasil penelitian ini akan dimuat dalam jurnal Archives of General Psychiatry.
 
